Dirimu, Dirimu, Dirimu
Desember 16, 2019
Tahun ini kesehatan mental mulai hype di Indonesia. Banyak masyarakat yang mulai sadar bahwa kesehatan mental itu penting dan bukan urusan yang main-main. Penggiat seni juga sudah mulai memasukkan nilai-nilai 'mental health awareness' ke karya mereka.
Aku juga sangat bersyukur memilih jurusan Psikologi. Selain untuk bekal menghadapi dunia yang semakin gila, di setiap detik mata pelajaran yang diambil seperti menjalani sesi konseling berjalan. Jadi seperti sambil menyelam mancing ikan sih. Ketika itu banyak banget 'Aha moment', yang membuatku berpikir "Gue gitu gak ya?" atau "Wah, jadi gue harus gitu". Ya, sesi menyembuhkan diri laah.
Tapi, lama kelamaan aku sadar, waktu 4 tahun itu tidak cukup untuk lebih mengenali diri sendiri, untuk menyembuhkan diri sendiri. Setelah terbebas dari kegiatan perkuliahan, aku kembali limbung. Banyak tekanan yang dihadapi yang walaupun sudah pernah aku pikirkan sebelumnya, namun feelnya diluar ekspektasiku. Kenapa? Karena ternyata aku belum cukup kuat untuk menghadapi tekanan itu.
Apa aku sedang dalam fase Quarter Life Crisis? Mungkin.
Jika diartikan, QLC adalah fase kritis dalam hidup kita, dimana kita cemas dan bingung dengan arah tujuan kita. Ini merupakan fase peralihan dari remaja ke dewasa, dimana kita dituntut untuk bisa lebih bijak, tegas, dan lebih baik memilih tujuan dan mengambil momentum untuk kehidupan di masa mendatang. Ibarat kata, dulu cuma mikirin main, sekarang sudah disuruh terjun cari uang untuk bisa hidup, walaupun QLC bukan hanya tentang finansial.
Back to the topic. QLC ini bener-bener nguras pikiran, emosi, dan pada akhirnya berimbas ke kesehatan fisikku. Boleh dibilang, aku bisa menangis tiba-tiba tanpa tahu sebab yang jelas, dan itu terjadi selama berbulan-bulan secara berturut-turut. Aku merasa lelah dan capek, seperti ada hal yang mengganjal tapi tidak tahu apa. Ini yang juga menyebabkan aku overthinking dan egois, sehingga memilih untuk menutup diri supaya tidak menyakiti orang yang aku sayang.
Aku memegang prinsip dimana manusia dan alam memiliki porsinya masing-masing dalam kehidupan seseorang. Dan akhirnya hari itu tiba. Sekitar jam setengah 12 malam, aku nge-chat doi, bilang kalau aku (sangat) lelah dan meminta jeda waktu untuk sendiri dengan maksud mencari jati diri, mengenali lebih dalam siapa dan apa mauku.
Besoknya, aku seakan-akan menyatu dengan alam. Tidak di dramatisir, tapi waktu itu cuacanya sangat menggambarkan suasana hati aku. Dari pagi sampai malam, matahari tidak menampakkan dirinya sama sekali. Mendung, kelam, kelabu. Hari itu juga, aku merasa malas untuk berkomunikasi dengan siapapun melalui handphone. Aku tidak membalas semua whatsapp orang-orang, termasuk doi.
Aku berpikir, "Gue juga bisa bales chat lama" -ceritanya balas dendam-. Kekanak-kanakan dan egois memang, tapi pada akhirnya kepikiran juga, bagaimana perasaan doi sekarang. Akhirnya kita whatsapp-an seperti biasa, meskipun aku hanya membalasnya dengan singkat, padat, dan tidak jelas.
Malam harinya, setelah seluruh rutinitas yang dijalani, doi nelfon. Masih dibawah langit yang kelabu tanpa bintang dan bulan, dia bertanya kabar. Katanya, aku terdengar lemas, dan memang kenyataannya kondisiku sedang tidak stabil. Dia bertanya apakah ada yg mau diceritakan, aku mengelak. Apakah aku lelah dengannya, aku juga tidak mengiyakan. "Aku cuma lelah, gak tahu kenapa". Hingga entah di menit keberapa, pertahanan yang sekuat tenaga aku bangun akhirnya runtuh juga.
Tangisku meledak. Dia menenangkanku, "Nangis aja, gapapa. Nangis bukan berarti kamu lemah. It's okay kalau kamu mau ambil sedikit waktu buat diri kamu sendiri. Yang penting adalah diri kamu sendiri. Kamu juga pasti capek kan ngerjain skripsi, kerja, bantuin di rumah, masak, antar jemput Fiqah sama Papah, belum lagi ngurusin aku." -well setidaknya pernyataan terakhir cukup membuat aku tergelak-
Tapi dia terus menekankan dua hal yang belum bisa ku praktekkan: 'nangis itu wajar' dan 'pentingin diri sendiri dulu'. Secara tidak langsung, ini berkaitan dengan self-awareness dan self-love yang masih kurang aku miliki.
Dia juga menekankan untuk melakukan hal yang aku suka dan tidak untuk yang tidak disukai. Jangan pedulikan orang lain, tapi pedulikan dirimu dulu. Dirimu, dirimu, dirimu.
"Kamu gak mau terus-terusan di fase ini kan?" tanyanya. Mungkin pertanyaan ini yang ku butuhkan. Jadi, aku kembali membangun tekad agar lebih kuat dan melakukan sesuai sarannya. Agak susah memang, tapi harus dilakukan secara perlahan.
Setelah menghabiskan waktu lebih banyak menangis daripada mengobrol, ada perasaan lega. Malam itu, aku kembali utuh. Aku kembali menemukan tujuanku kembali, dan aku akan mulai untuk mencintai diriku sendiri.
Thank you.
-----------------------------
*Self-awareness: Bagaimana memahami diri sendiri baik dilihat secara personal maupun dari sudut pandang orang lain.
*Self-love: Suatu bentuk mencintai diri sendiri. Termasuk didalamnya penerimaan diri sendiri (kelebihan dan kekurangan).
Aku juga sangat bersyukur memilih jurusan Psikologi. Selain untuk bekal menghadapi dunia yang semakin gila, di setiap detik mata pelajaran yang diambil seperti menjalani sesi konseling berjalan. Jadi seperti sambil menyelam mancing ikan sih. Ketika itu banyak banget 'Aha moment', yang membuatku berpikir "Gue gitu gak ya?" atau "Wah, jadi gue harus gitu". Ya, sesi menyembuhkan diri laah.
Tapi, lama kelamaan aku sadar, waktu 4 tahun itu tidak cukup untuk lebih mengenali diri sendiri, untuk menyembuhkan diri sendiri. Setelah terbebas dari kegiatan perkuliahan, aku kembali limbung. Banyak tekanan yang dihadapi yang walaupun sudah pernah aku pikirkan sebelumnya, namun feelnya diluar ekspektasiku. Kenapa? Karena ternyata aku belum cukup kuat untuk menghadapi tekanan itu.
Apa aku sedang dalam fase Quarter Life Crisis? Mungkin.
Jika diartikan, QLC adalah fase kritis dalam hidup kita, dimana kita cemas dan bingung dengan arah tujuan kita. Ini merupakan fase peralihan dari remaja ke dewasa, dimana kita dituntut untuk bisa lebih bijak, tegas, dan lebih baik memilih tujuan dan mengambil momentum untuk kehidupan di masa mendatang. Ibarat kata, dulu cuma mikirin main, sekarang sudah disuruh terjun cari uang untuk bisa hidup, walaupun QLC bukan hanya tentang finansial.
Back to the topic. QLC ini bener-bener nguras pikiran, emosi, dan pada akhirnya berimbas ke kesehatan fisikku. Boleh dibilang, aku bisa menangis tiba-tiba tanpa tahu sebab yang jelas, dan itu terjadi selama berbulan-bulan secara berturut-turut. Aku merasa lelah dan capek, seperti ada hal yang mengganjal tapi tidak tahu apa. Ini yang juga menyebabkan aku overthinking dan egois, sehingga memilih untuk menutup diri supaya tidak menyakiti orang yang aku sayang.
Aku memegang prinsip dimana manusia dan alam memiliki porsinya masing-masing dalam kehidupan seseorang. Dan akhirnya hari itu tiba. Sekitar jam setengah 12 malam, aku nge-chat doi, bilang kalau aku (sangat) lelah dan meminta jeda waktu untuk sendiri dengan maksud mencari jati diri, mengenali lebih dalam siapa dan apa mauku.
Besoknya, aku seakan-akan menyatu dengan alam. Tidak di dramatisir, tapi waktu itu cuacanya sangat menggambarkan suasana hati aku. Dari pagi sampai malam, matahari tidak menampakkan dirinya sama sekali. Mendung, kelam, kelabu. Hari itu juga, aku merasa malas untuk berkomunikasi dengan siapapun melalui handphone. Aku tidak membalas semua whatsapp orang-orang, termasuk doi.
Aku berpikir, "Gue juga bisa bales chat lama" -ceritanya balas dendam-. Kekanak-kanakan dan egois memang, tapi pada akhirnya kepikiran juga, bagaimana perasaan doi sekarang. Akhirnya kita whatsapp-an seperti biasa, meskipun aku hanya membalasnya dengan singkat, padat, dan tidak jelas.
Malam harinya, setelah seluruh rutinitas yang dijalani, doi nelfon. Masih dibawah langit yang kelabu tanpa bintang dan bulan, dia bertanya kabar. Katanya, aku terdengar lemas, dan memang kenyataannya kondisiku sedang tidak stabil. Dia bertanya apakah ada yg mau diceritakan, aku mengelak. Apakah aku lelah dengannya, aku juga tidak mengiyakan. "Aku cuma lelah, gak tahu kenapa". Hingga entah di menit keberapa, pertahanan yang sekuat tenaga aku bangun akhirnya runtuh juga.
Tangisku meledak. Dia menenangkanku, "Nangis aja, gapapa. Nangis bukan berarti kamu lemah. It's okay kalau kamu mau ambil sedikit waktu buat diri kamu sendiri. Yang penting adalah diri kamu sendiri. Kamu juga pasti capek kan ngerjain skripsi, kerja, bantuin di rumah, masak, antar jemput Fiqah sama Papah, belum lagi ngurusin aku." -well setidaknya pernyataan terakhir cukup membuat aku tergelak-
Tapi dia terus menekankan dua hal yang belum bisa ku praktekkan: 'nangis itu wajar' dan 'pentingin diri sendiri dulu'. Secara tidak langsung, ini berkaitan dengan self-awareness dan self-love yang masih kurang aku miliki.
Dia juga menekankan untuk melakukan hal yang aku suka dan tidak untuk yang tidak disukai. Jangan pedulikan orang lain, tapi pedulikan dirimu dulu. Dirimu, dirimu, dirimu.
"Kamu gak mau terus-terusan di fase ini kan?" tanyanya. Mungkin pertanyaan ini yang ku butuhkan. Jadi, aku kembali membangun tekad agar lebih kuat dan melakukan sesuai sarannya. Agak susah memang, tapi harus dilakukan secara perlahan.
Setelah menghabiskan waktu lebih banyak menangis daripada mengobrol, ada perasaan lega. Malam itu, aku kembali utuh. Aku kembali menemukan tujuanku kembali, dan aku akan mulai untuk mencintai diriku sendiri.
Thank you.
-----------------------------
*Self-awareness: Bagaimana memahami diri sendiri baik dilihat secara personal maupun dari sudut pandang orang lain.
*Self-love: Suatu bentuk mencintai diri sendiri. Termasuk didalamnya penerimaan diri sendiri (kelebihan dan kekurangan).
0 comments