Selamat Tinggal 2019
Desember 25, 2019
Bagaimana tidak, enam hari lagi tahun 2020 tiba.
Ada perasaan senang sekaligus sedih.
Senangnya, karena saya percaya akan ada banyak lagi kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat.
Sedihnya, banyak tujuan atau resolusi yang belum tercapai di tahun 2019. Jadi mau gak mau saya harus melakukan beberapa perombakan rencana. Kalau diingat-ingat, saya juga pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya (lihat postingan saya tentang resolusi tahun baru).
Tetapi, meskipun tahun 2019 bukan merupakan tahun terbaik dalam hidup saya, saya melewati banyak hal yang tak pernah saya lupakan. Ada banyak my first moment dalam tahun ini.
- Saya menjadi mahasiswa magang di perusahaan Astra
Di kampus saya, mahasiswa psikologi tidak memiliki program magang. Dengar-dengar, karena selama masa perkuliahan kita sudah lebih banyak terjun di lapangan, maka kampus tidak mengadakan program tersebut. Namun, mengikuti program magang menjadi salah satu cara.
Saat itu saya sedang menyusun skripsi bab 3. Kebetulan saya memiliki dua dosen pembimbing, dimana dosen pertama (dan utama) saya berdomisili di Papua. Bisa dibayangkan kita hanya berkomunikasi via email, dan saya membutuhkan waktu kurang lebih sebulan -bahkan lebih- untuk mendapat berkas revisi.
Karena saya merasa bosan berdiam diri di rumah dan membutuhkan uang saku tambahan, maka saya mencai program internship. Alhamdulillah saat itu teman dekat saya (yang juga sedang magang) menawarkan posisi internship asisten HR di perusahaan teman bosnya. Saat itu juga saya langsung mengiyakan dan mengirim berkas yang diperlukan. Esoknya, saya langsung di telfon untuk menetapkan jadwal interview.
Singkat cerita, saya diterima di perusahaan tersebut. Sayangnya, saya memutuskan resign di tengah jalan. Alasannya saat itu adalah karena saya sudah akan mengambil data dan mengejar wisuda. - Momen kelulusan teman
Ketika saya kuliah, saya memiliki satu circle teman nongkrong sekaligus teman belajar. Sejak awal kuliah hingga saat penyusunan skripsi, kita selalu mengatakan untuk selalu bersama. Masuk bareng-bareng, lulus juga bareng-bareng. Apa daya, setiap orang memiliki rintangannya masing-masing sehingga kami tidak bisa memakai toga pada hari yang sama.
Kami berenam waktu itu, dan yang bisa menepati janji 'lulus bersama' hanya empat orang. Bisa tebak dua orangnya? Ya, salah satunya saya. Saya dan teman saya yang 'tertunda kelulusannya' memiliki dosen pembimbing skripsi utama yang sama. Jadi kami berdua hanya bisa berkaca-kaca menyaksikan kelulusan teman kami. Meski sedikit iri, kami mengharapkan yang terbaik untuk mereka.
Tahu yang lebih miris? Saya tidak bisa menyaksikan kelulusan mereka. Mereka diwisuda ketika hari kerja, ketika saya mengikuti program magang di Astra. Saya tidak bisa izin karena kebetulan teman per-magang-an saya juga teman satu circle saya, sementara perusahaan tidak mengizinkan dua orang mahasiswa magang di divisi yang sama mengajukan cuti pada hari yang sama. Saya masih menyesal akan hal ini. - Saya mendapat kerja
Selang beberapa bulan saya memutuskan resign dari Astra, saya kembali fokus dengan skripsi. Qodarullah skripsi saya kembali menemui hambatan. Lagi-lagi dosen saya meminta perombakan yang lumaya banyak. Sambil menunggu balasan revisi skripsi, saya kembali menganggur di rumah.
Karena tuntutan finansial, saya kembali mencari program magang atau kerja freelance di berbagai portal kerja. Dalam sehari tak terhitung berapa banyak lamaran yang sudah saya kirimkan, serta berapa banyak CV dan resume sudah saya buat (posisi job yang berbeda membutuhkan CV yang berbeda pula).
Tepat beberapa hari sebelum lebaran Idul Fitri, saya mendapat email tawaran kerja menjadi content writer. Setelah mengirimkan portofolio, negosiasi gaji dan beberapa hal lainnya, saya resmi diterima menjadi penulis konten. Alhamdulillah ala kulli hal.
Lucunya, ketika dulu ada yang bertanya apakah saya ingin menjadi penulis, saya membantahnya. "Saya ingin menjadi Psikolog. Saya tidak ingin mendalami bidang kepenulisan, karena itu bukan tujuan utama saya. Menulis hanya akan menjadi hobi saya." Sekarang siapa sangka, justru dari menulislah saya bisa bertahan sampai sekarang. Hidup memang seajaib itu. - Berkesempatan mencintai diri sendiri
Saya sudah pernah menyatakan bahwa saya masih kurang mencintai diri sendiri (baca tulisan saya disini). Saya menyadari bahwa pelajaran tentang cinta harus dicari seumur hidup. Mencintai diri sendiri mungkin sama sulitnya dengan mencintai orang lain, namun jika kita sudah mencintai diri sendiri maka kita akan lebih mudah memahami orang lain.
Ada hal unik disini. Meskipun saya mahasiswa psikolog -yang harusnya bisa lebih paham tentang bidang psikologi- namun saya disadarkan tentang self-love dari orang lain. Saya mendapat banyak pelajaran dari orang tersebut.
Saya bertemu dengannya ketika reuni SD. Tertebak? Ya, dia teman SD saya. Pertemuan kami cukup singkat dengan suasana yang akrab, padahal ketika SD dulu saya tidak dekat dengannya. Ngobrol pun tidak pernah. Namun sepertinya Allah sudah menetapkan jalan seperti ini.
Setelah reuni SD dan komunikasi yang cukup intens, kami mulai mengenal masing-masing. Kami memiliki luka yang cukup sama, sehingga bisa saya katakan masing-masing kami seperti self-healing. Dari situlah saya banyak belajar arti bersyukur, tegar, dan tentunya self-loving.
Mungkin 4 poin itu yang menjadikan tahun 2019 saya berkesan. Semoga di tahun yang akan datang, akan ada lebih banyak lagi momen yang berkesan, akan ada lebih banyak pelajaran hidup yang bisa diambil, serta akan ada lebih banyak tujuan yang bisa tercapai.
Terima kasih Nurul, karena sudah bertahan sejauh ini.
Terima kasih karena sudah mau percaya bahwa akan ada hal-hal baik datang setiap waktunya.
0 comments